ISTILAH
BERBAHASA SANTUN MENURUT AL-QUR’AN
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Akhlak II
Dosen
pengampu: H. Ahmad Muthohar, M.Ag.
Disusun
Oleh:
Umi Mukaromah 123111157
Wafin Agitya Pratama 123111158
Atmimil Khusnayaini 123111161
Moh Aji
Pamungkas 123111171
Ulfa Hidayatun Nafi’ah 123111179
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Kemampuan berbicara berarti kemampuan berkomunikasi. Berkomunikasi
adalah sesuatu yang dibutuhkan hampir di setiap
kegiatan manusia. Dalam komunikasi kita dapat saling menumbuhkan persahabatan,
memelihara kasih sayang, dan berbagi pengetahuan. Akan tetapi dengan komunikasi, kita juga
dapat mengakibatkan perpecahan, permusuhan, dan kebencian. Kenyataan ini
menjadi gambaran bahwa kegiatan komunikasi bukanlah sesuatu yang mudah
dilakukan oleh setiap manusia.
Pembahasan di dalam makalah ini adalah tentang
qaulan. Qaulan adalah suatu pesan-pesan keislaman yang mana dalam
penyampaiannya itu dilihat dari komunikasi menurut ajaran Islam. Mengenai
caranya, dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dapat ditemukan berbagai panduan agar
komunikasi berjalan dengan baik dan efektif sehingga tidak terjadi suatu
kesalahpahaman antara umat manusia dalam menyampaikan komunikasi dan komunikasi
yang diterimanya. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau
etika berkomunikasi dalam perspektif Islam. Yang mana kaidah, prinsip, atau
etika komunikasi dalam Islam ini merupakan panduan bagi kaum muslim dalam
melakukan komunikasi.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah
arti dari Qaulan sadidan?
B.
Apakah
arti dari Qaulan balighan?
C.
Apakah
arti dari Qaulan kariman?
D.
Apakah
arti dari Qaulan maisuran?
E.
Apakah
arti dari Qaulan ma’rufa?
F.
Apakah
arti dari Qaulan layyinan?
III.
PEMBAHASAN
A.
Qaulan Sadidan
Qaulan sadidan terdiri dari kata qaul yang berarti perkataan atau pernyataan, dan sadid
yang berarti tepat atau benar.[1] Kata ( سديدا) sadidan terdiri dari huruf sin dan dal
yang menurut pakar bahasa, Ibn Faris, menunjuk kepada makna meruntuhkan sesuatu
kemudian memperbaikinya. Ia juga berarti istiqomah/konsistensi. Kata ini juga
digunakan untuk menunjuk kepada sasaran. Seseorang yang menyampaikan
sesuatu/ucapan yang benar dan mengena tepat pada sasarannya dilukiskan dengan
kata ini.
Dari kata ( سديدا) sadidan, yang mengandung
makna meruntuhkan sesuatu kemudian memperbaikinya, diperoleh pula petunjuk
bahwa ucapan yang meruntuhkan jika disampaikan, harus pula dalam saat yang sama
memperbaikinya, dalam arti kritik yang disampaikan hendaknya merupakan kritik
yang membangun, atau dalam arti informasi yang disampaikan haruslah baik,
benar, dan mendidik.[2]
Q.S An-Nisa: 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ
لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ
فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (۹)
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.[3]
Q.S. Al-Ahzab: 70
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (۷۰)
Dalam konteks ayat di atas kata qaul sadid ditujukan kepada
orang-orang yang beriman, supaya mereka senantiasa berkata benar atau tepat
dalam situasi dan kondisi apapun.[5] Allah
memerintahkan orang-orang beriman untuk selalu berkata benar, selaras antara
yang diniatkan dan yang diucapkan, karena seluruh kata yang diucapkan dicatat
oleh malaikat Raqib dan ‘Atid, dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan
Allah. Bila mereka tetap memelihara keimanan dan ketakwaan serta selalu
mengatakan kebenaran, pasti Allah akan memperbaiki perbuatan dan mengampuni dosa-dosa
mereka.[6]
Thahir Ibn Asyur menggaris bawahi kata ( قول ) qaul/ucapan
yang menurutnya merupakan satu pintu yang sangat luas, baik yang berkaitan
dengan kebajikan maupun keburukan. Sekian banyak hadits yang menekankan
pentingnya memerhatikan lidah dan ucapan-ucapannya. “Manusia tidak disungkurkan
wajahnya ke neraka kecuali akibat lidah mereka.” “Allah merahmati seseorang
yang mengucapkan kata-kata yang baik sehingga dia memperoleh keselamatan.”
“Barangsiapa yang percaya kepada Allah dan hari Kemudian, hendaklah dia berucap
yang baik atau diam.” Demikian Ibnu Asyur mengemukakan tiga hadits Nabi saw dan
yang selanjutnya menyatakan bahwa “perkataan yang tepat” mencakup sabda para
nabi, ucapan para ulama’ dan para penutur hikmah. Membaca Al-Qur’an dan meriwayatkan
hadits termasuk dalam hal ini. Demikian juga tasbih tahmid, adzan, dan qamat.
Dengan perkataan yang tepat-baik yang terucapkan dengan lidah dan didengar
orang banyak maupun yang tertulis sehingga terucapkan oleh diri sendiri dan
orang lain ketika membacanya akan tersebar luas informasi dan memberi pengaruh
yang tidak kecil bagi jiwa dan pikiran manusia. Kalau ucapan itu baik, baik pula
pengaruhnya, dan bila buruk maka buruk pula, dan karena itu ayat di atas
menjadikan dampak dari perkataan yang tepat adalah perbaikan amal-amal.
Thabathaba’i berpendapat bahwa dengan keterbiasaan seseorang mengucapkan
kalimat-kalimat yang tepat, ia akan menjauh dari kebohongan dan tidak juga
mengucapkan kata-kata yang mengakibatkan keburukan atau yang tidak bermanfaat.
Seseorang yang telah mantap sifat tersebut pada dirinya,
perbuatan-perbuatannyapun akan terhindar dari kebohongan dan keburukan, dan ini
berarti lahirnya amal-amal shaleh dari yang bersangkutan. Ketika itu ia akan menyadari betapa buruk amal-amalnya yang pernah ia lakukan sehingga ia
menyesalinya dan penyesalan tersebut mendorong ia bertaubat, dan ini mengantar
Allah memeliharanya serta menerima taubatnya.[7]
Qaulan sadidan menurut pemaparan arti dari surat di atas yaitu suatu
pembicaraan, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi
(materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa).
B.
Qaulan Balighan
Kata (بليغا) balighan terdiri dari huruf-huruf ba’, lam dan ghain.
Pakar-pakar bahasa manyatakan bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf
tersebut mengandung arti sampainya sesuatu ke sesuatu yang lain. Ia juga
bermakna “cukup” karena kecukupan mengandung arti sampainya sesuatu kepada
batas yang dibutuhkan. Seorang yang pandai menyusun kata sehingga mampu
menyampaikan pesannya dengan baik lagi cukup dinamai baligh. Mubaligh adalah
orang yang menyampaikan suatu berita yang cukup kepada orang lain. Pakar-pakar
sastra menekankan perlunya dipenuhi beberapa kriteria sehingga sehingga pesan
yang disampaikan dapat disebut balighan,
yaitu:
a.
Tertampungnya
seluruh pasan dalam kalimat yang disampaikan
b.
Kalimatnya
tidak bertele-tele tetapi tidak pula disingkat sehingga mengaburkan pesan.
Artinya, kalimat tersebut cukup, tidak berlebihan atau berkurang.
c.
Kosa
kata yang merangkai kalimat tidak asing bagi pendengaran dan pengetahuan lawan
bicara, mudah diucapkan serta tidak “berat” terdengar.
d.
Sesuai
dengan kandungan dan gaya bahasa dengan sikap lawan bicara. Lawan bicara atau
orang kedua tersebut boleh jadi sejak semula menolak pesan atau meragukannya
atau boleh jadi telah meyakini sebelumnya, atau belum memiliki ide sedikitpun
tentang apa yang akan disampaikan.
e.
Kesesuaian
dengan tata bahasa.[8]
Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas
maknanya. Qaulan balighan artinya menggunakan kata-kata yang
efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok
masalah, dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat
sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan
kadar intelektualitas komunikasi dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh
mereka.
Q.S. An-Nisa:
63
أُولَئِكَ الَّذِينَ
يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ
لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا (٦٣)
Mereka itu adalah orang-orang yang
Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari
mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka.[9]
C.
Qaulan Kariman
Kata (كريما) kariman biasa diterjemahkan mulia. Kata ini terdiri
dari huruf-huruf kaf, ra’, dan mim yang menurut
pakar-pakar bahasa mengandung makna yang mulia atau terbaik sesuai objeknya.
Bila dikatakan rizqun karim, yang dimaksud adalah rizki yang halal dalam
perolehan dan pemanfaatannya serta memuaskan dalam kualitas dan kuantitasnya.
Bila kata karim dikaitkan dengan akhlak menghadapi orang lain, ia
bermakna pemaafan.[10]
Qaulan kariman adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan
mengagungkan, enak didengar, lemah lembut, dan bertata krama. Qaulan kariman
harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan kedua orang tua dan orang
yang harus dihormati. Allah telah berfirman dalam Q.S. Al-Isra: 23;
وَقَضَى رَبُّكَ
أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (۲٣)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.[11]
Ayat diatas menuntut agar apa yang disampaikan kepada
orang tua bukan saja yang benar dan tepat, bukan saja juga yang sesuai dengan
adat kebiasaan yang baik dalam suatu masyarakat, tetapi ia juga harus yang
terbaik dan mulia, dan kalaupun seandainya orang tua melakukan suatu kesalahan
terhadap anak, kesalahan itu harus dianggap tidak ada/dimaafkan (dalam arti
dianggap tidak pernah ada dan terhapus dengan sendirinya) karena tidak ada
orang tua yang bermaksud buruk terhadap anaknya. Demikian makna kariman yang
dipesankan kepada anak dalam menghadapi orangtuanya.[12]
Ketentuan dan
sopan santun dalam ayat ini antara lain:
1.
Seorang anak tidak boleh mengucapkan kata kotor dan kasar meskipun
hanya berupa kata “ah” kepada orang tuanya.
2.
Seorang anak tidak boleh menghardik atau membentakorang tuanya, sebab bentakan itu akan melukai perasaan keduanya.
3.
Hendaklah anak mengucapkan kata-kata yang mulia kepada orang tuanya. Kata-kata yang mulia ialah kata-kata yang baik dan diucapkan
dengan penuh hormat, yang menggambarkan adab sopan santun dan penghargaan penuh
terhadap orang lain.[13]
D.
Qaulan Maisuran
Secara etimologis, kata maisuran berasal dari kata
yasara yang artinya mudah atau gampang (Al-Munawir). Ketika kata maisuran
digabungkan dengan kata qaulan menjadi qaulan maisuran artinya
berkata dengan mudah atau gampang. Berkata dengan mudah maksudnya adalah
kata-kata yang digunakan mudah dicerna, dimengerti, dan dipahami. Makna lainnya
adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan.
Kata qaulan maisuran hanya satu kali disebutkan dalam Al-Qur’an,
yaitu pada Q.S. Al-Isra: 28;
وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ
عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلًا
مَيْسُورًا (۲٨)
Dan jika kamu berpaling dari mereka
untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada
mereka ucapan yang pantas.[14]
Berdasarkan ashab al-nuzul ayat terebut, Allah memberikan
pendidikan kepada Nabi Muhammad saw untuk menunjukkan sikap yang arif dan
bijaksana dalam menghadapi keluarga dekat, orang miskin, dan musafir.
E.
Qaulan Ma’rufa
Qaulan Ma’rufa
artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran
(tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa
juga memiliki arti yaitu kalimat-kalimat yang baik sesuai dalam kebiasaan
masyarakat, selama kalimat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai
ilahi.[15] Atau juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan
menimbulkan kebaikan (maslahat).
Q.S. An-Nisa: 5
وَلَا تُؤْتُوا
السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (٥)
Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik.[16]
Ayat ini mengamanahkan agar pesan hendaknya disampaikan dalam
bahasa yang sesuai dengan adat kebiasaan yang baik menurut ukuran setiap
masyarakat[17]
Q.S. An-Nisa: 8
وَإِذَا حَضَرَ
الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ
مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (٨)
Dan apabila sewaktu pembagian itu
hadir kerabat[270], anak yatim dan orang miskin, maka berilah
mereka dari harta itu [271] (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang baik.[18]
Q.S. Al-Baqarah: 235
وَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ
فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا
تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (۲٣٥)
Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan sindiran]
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf[150]. Dan
janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun.[19]
F.
Qaulan Layyinan
فقولاله قولاليّنا ) ) fa qula lahu qaulan layyinan/maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut menjadi
dasar tentang perlunya sikap bijaksana dalam berdakwah yang antara lain
ditandai dengan ucapan-ucapan sopan yang tidak menyakitkan hati sasaran dakwah.
Karena Fir’aun saja, yang demikian durhaka, masih juga harus dihadapi dengan
lemah lembut. Memang, dakwah pada dasarnya adalah ajakan lemah lembut. Dakwah
adalah upaya menyampaikan hidayah. Kata (هداية) hidayah yang terdiri
dari huruf-huruf ha’, dal, dan ya’ maknanya antara lain
adalah menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini, lahir kata hidayah yang
merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati. Ini
tentu saja bukan berarti juru dakwah tidak melakukan kritik, hanya saja itupun
harus disampaikan dengan tepat bukan saja pada kandungannya tetapi juga waktu
dan tempat serta susunan kata-katanya, yakni dengan tidak memaki atau
memojokkan.[20]
Qaulan layyinan adalah pembicaraan yang lemah lembut, dengan suara yang enak didengar, dan
penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Dalam Tafsir Ibnu Katsir
disebutkan, yang dimaksud layyinan ialah kata-kata sindiran, bukan
dengan kata-kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
Q.S. Thaha: 44
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا
لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (٤٤)
Maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.[21]
Contoh: Allah mengajarkan kepada Musa dan Harun as bagaimana cara
menghadapi Fir’aun, yaitu dengan kata-kata yang halus dan ucapan yang lembut.
Seseorang yang dihadapi dangan cara demikian, akan terkesan dihatinya dan akan
cenderung menyambut dengan baik dan menerima dakwah dan ajakan yang diserukan
kepadanya.[22]
IV.
KESIMPULAN
Ø
Qaulan
sadidan yaitu
suatu pembicaraan, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi
(materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa).
Ø Qaulan balighan artinya menggunakan kata-kata yang efektif,
tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah, dan
tidak berbelit-belit atau bertele-tele.
Ø Qaulan kariman adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan
rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah lembut, dan bertata krama.
Ø Qaulan maisuran artinya berkata dengan mudah atau gampang
dengan menggunakan kata-kata yang mudah dicerna, dimengerti, dan dipahami.
Makna lainnya adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan.
Ø Qaulan Ma’rufa artinya perkataan
yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak kasar),
dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan.
Ø Qaulan layyinan adalah pembicaraan yang lemah lembut, dengan
suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layyinan ialah
kata-kata sindiran, bukan dengan kata-kata terus terang atau lugas, apalagi
kasar.
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini
penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca
pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran
yang bersifat membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya
Jilid IV. Jakarta: Lentera Abadi.
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya
Jilid V. Jakarta: Lentera Abadi.
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid VIII. Jakarta:
Lentera Abadi.
Departemen Agama. 2009. Al-Qur-an
dan Terjemahan. Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah 2. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah 4. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah 7. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah 15. Jakarta: Lentera Hati.
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid
VIII,(Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 46.
[2]
M. Quraish Sihab, Tafsir Al-Mishbah 4, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 547.
[3] Departemen
Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi,
2009), hlm. 78.
[4]
Departemen
Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi,
2009), hlm. 427.
[5]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid
VIII, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 46.
[6]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid
VIII, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 48.
[7]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah 4, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 547-548.
[9]
Departemen
Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi,
2009), hlm. 87.
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah 7, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 65-66
[11]
Departemen
Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi,
2009), hlm. 284.
[13]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 461.
[14]
Departemen
Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi,
2009), hlm. 285.
[16]
Departemen
Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi,
2009), hlm. 77.
[17]
M.Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah 2, (Tangerang:Lentera Hati,2007), hlm.356.
[18]
Departemen
Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi,
2009), hlm. 77.
[19]
Departemen
Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi,
2009), hlm. 38.
[21]
Departemen
Agama, Al-Qur-an dan Terjemahan, (Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi,
2009), hlm. 314.
[22]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid VI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar